BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Calung Banyumasan
Calung Banyumasan ada
di kawasan Jawa Tengah tepatnya di kawasan BANYUMAS seni calung merupakan salah satu bentuk
budaya khas Banyumasan. Seni ini berbentuk alat musik tradisional pentatonik
terbuat dari bilah-bilah bambu wulung yang
berangkai dalam 3 oktaf, yaitu bilahan oktaf rendah (gedhe), sedang , dan
tinggi (kecil). Nada-nada calung biasanya diawali dari nada 5 (ma) rendah
sampai dengan 3 (lu) tinggi. Menurut sumber-sumber lisan, calung berasal dari
alat musik cengklung yaitu tiga bilah bambu dengan nada berbeda dipadu menjadi
satu. Kemudian berubah menjadi angklung. Secara fisik hampir sama, yang berbeda
cara merangkai satu nada terdiri dari 3 bilah, cara membunyikannya dengan
“dikorog”. Karena dirasa kurang praktis, maka kemudian berubah lagi menjadi
calung. Dalam bahasa Banyumasan Arti kata Calung ialah: carang pring
wulung utawa dicacah melung-melung yang artinya batang bamboo wulung atau
bilah-bilah teriak-teriak (mengeluarkan suara).
2.2 Asal-Usul Musik Calung Banyumas
Pada masa awal penyebaran Islam, seni calung sering dipadu
dengan lengger (le = thole = sebutan untuk anak laki-laki, dan ngger = angger =
sebutan untuk anak perempuan) Seni calung digunakan sebagai alat untuk
memanggil atau mengumpulkan anak-anak untuk diberikan pengetahuan baru yaitu
tentang ajaran Islam. Seni calung
berkembang di wilayah Banyumas. Wilayah Banyumas adalah wilayah budaya kulonan
yang memilki karaketistik cenderung apa adanya (blaka suta), lugu dan aksen
ngapak. Ciri khas ini tercermin pada syair-syair lagu yang dipadu dengan irama
musik calung serta senggakan-senggakan yang terkesan vulgar.
Musik bongkel yang selama ini disebut-sebut
sebagai cikal-bakal angklung
dan calung Banyumas. Anggapan ini cukup beralasan, sebab bila dimati secara cermat, antara keduanya sebagaian besar mengacu pada bongkel. Hal ini terlihat jelas pada bentuk fisik instrumen, bahan baku, proses pembuatan, system pelarasan, struktur komposisi,dan teknik permainan dari beberapa instrumen. Bongkel adalah salah satu bentuk musik rakyat yang terdapat di desa Gerduren, Banyumas (Jawa Tengah). Musik ini didukung sebuah instrument perkusi (sejenis angklung bambu), berlaras slendro. Dalam satu bingkai terdapat empat tabung nada berbeda. Cara memainkan digoyang dan digatarkan menggunakan kedua tangan, serta diikuti tutupan jari-jari tertentu untuk menentukan nada. Karakteristik permainan bongkel terletak pada jalinan ritmis antara keempat tabung nada. Dalam perkembangannya bentuk jalinan-jalinan ini mengilhami lahirnya lain yang sejenis yaitu angklung, krumpyung dan calung. Bongkel pada awalnya berfungsi sebagai musik hiburan petani ketika berada di ladang, dan dalam perkembangannya kini bergeser menjadi musik jalanan (ngamen) dan musik ronda (jaga malam). Secara musikal bongkel memiliki teknik permainan tinggi, unik, khas, dan tidak ada duanya baik di Banyumas, maupun di daerah Indonesia. Berdasarkan analisis fisik, musikalitas, dan fungsi dapat diketahui bahwa bongkel termasuk musik bambu tertua di Banyumas. Setelah melalui proses perjalanan panjang genre musik ini diduga mendapat pengaruh gamelan kemagan dan ringgeng yakni perangkat gamelam kecil yang biasa digunakan untuk mengiringi lengger dan ebeg. Dari bongkel berkembang menjadi buncis, dari buncis berkembang menjadi krumpyung, dan dari krumpyung menjadi calung. Masyarakat banyumas mengenal musik calung sampai dengan sekarang.
dan calung Banyumas. Anggapan ini cukup beralasan, sebab bila dimati secara cermat, antara keduanya sebagaian besar mengacu pada bongkel. Hal ini terlihat jelas pada bentuk fisik instrumen, bahan baku, proses pembuatan, system pelarasan, struktur komposisi,dan teknik permainan dari beberapa instrumen. Bongkel adalah salah satu bentuk musik rakyat yang terdapat di desa Gerduren, Banyumas (Jawa Tengah). Musik ini didukung sebuah instrument perkusi (sejenis angklung bambu), berlaras slendro. Dalam satu bingkai terdapat empat tabung nada berbeda. Cara memainkan digoyang dan digatarkan menggunakan kedua tangan, serta diikuti tutupan jari-jari tertentu untuk menentukan nada. Karakteristik permainan bongkel terletak pada jalinan ritmis antara keempat tabung nada. Dalam perkembangannya bentuk jalinan-jalinan ini mengilhami lahirnya lain yang sejenis yaitu angklung, krumpyung dan calung. Bongkel pada awalnya berfungsi sebagai musik hiburan petani ketika berada di ladang, dan dalam perkembangannya kini bergeser menjadi musik jalanan (ngamen) dan musik ronda (jaga malam). Secara musikal bongkel memiliki teknik permainan tinggi, unik, khas, dan tidak ada duanya baik di Banyumas, maupun di daerah Indonesia. Berdasarkan analisis fisik, musikalitas, dan fungsi dapat diketahui bahwa bongkel termasuk musik bambu tertua di Banyumas. Setelah melalui proses perjalanan panjang genre musik ini diduga mendapat pengaruh gamelan kemagan dan ringgeng yakni perangkat gamelam kecil yang biasa digunakan untuk mengiringi lengger dan ebeg. Dari bongkel berkembang menjadi buncis, dari buncis berkembang menjadi krumpyung, dan dari krumpyung menjadi calung. Masyarakat banyumas mengenal musik calung sampai dengan sekarang.
2.3
Perkembangan Calung Banyumasan
Calung atau sering
juga disebut dengan istilah gamelan Calung adalah nama dari seperangkat alat
musik tradisional yang ada di sebaran budaya masyarakat Banyumas. Gamelan
Calung yang ada di daerah Banyumas memiliki sistem pelarasan yang relatif sama
dengan sistem pelarasan gamelan yang ada di wilayah-wilayah sekitarnya seperti
Jogjakarta, Surakarta dan Sunda, yakni sistem pentatonik slendro. lazim
difungsikan sebagai alat musik seni pertunjukan seperti lengger dan ebeg. Pada
masa kejayaan seni pertunjukan lengger sekitar tahun 19970-an, kehidupan
gamelan Calung sangat populer. Di samping gamelan Calung sangat berperan
penting dalam kehidupan seni pertunjukan masyarakat Banyumas. Disamping
kedudukan gamelan Calung memiliki peran penting sebagai pendukung sebuah sajian
pertunjukan kesenian rakyat seperti Lengger dan Ebeg, ia juga memiliki satu
bentuk kekuatan spirit musikal yang sangat kuat di dalam refleksinya sebagai
daya ungkap seniman Banyumas, karena terdapat satu spesifikasi gaya yang khas
dan unik jika dibandingkan dengan jenis kesenian manapun.
Melalui proses perjalanan yang cukup
panjang kesenian lengger-calung telah mampu menempatkan posisinya yang terdepan
dari sederetan jenis seni pertunjukan yang ada di karesidenan Banyumas. Hal
yang mendukung eksistensi kehidupan kesenian lengger-calung bagi masyarakat
Banyumas adalah, sering difungsikannya sebagai kebutuhan-kebutuhan sosial
seperti kegiatan punya hajat pernikahan, sunatan, tindik dan keperluan ritual
seperti syukuran (nadar), sedekah bumi dan sedekah laut. Melihat betapa
kompleksnya fungsi dan peran Calung pada kehidupan masyarakat Banyumas, maka
beban profesi seniman Lengger Calungpun menjadi sangat berat. Apalagi jika
harus mempertahankan eksistensinya yang berorientasi pada kejayaan di masa
lalu. Seiring dengan perkembangan zaman, sikap dan selera masyarkat yang selalu
berubah, maka sifat kesenian Lengger Calungpun tidak bisa mengelak dari kondisi
tersebut. Perubahan Lengger Calung yang tampak sebagai gejala adanya faktor
zaman adalah bentuk dan garap. Perubahan garap calung apabila dilihat secara
historis dalam konteks budayanya telah berjalan seiring dengan kondisi
zamannya. Arah perubahan garap yang kurang ditangani secara serius dan
profesional dalam konteks budayanaya, akan berakibat fatal bagi kehidupan
kesenian Calung dan akan berdampak negatif terhadap kehidupanya di masa yang
akan datang. Pekerjaan seniman memang cukup berat, apalagi jika kemampuan untuk
meng-garap yang dimilikinya tidak lagi sebanding dengan tuntutan zamannya,
karena garap adalah bagian yang paling penting sebagai sistem ungkap seniman
terhadap nilai-nilai estetik yang bersinggungan dengan nilai budayanya yang
semakin dinamis. Kerangka kehidupan kesenian yang dinamis tersebut mempunyai
konsekuensi dan jelas merupakan faktor perubahan secara konseptual maupun ujud
penerapannya. Perubahan garap yang terjadi pada sajian gending-gending
Banyumasan gamelan Calung telah tergeser oleh arus perkembangan jaman yang
berorentasi pada selera pasar.
Peristiwa yang terjadi setiap kurun
waktu tertentu menjadikan perubahan-perubahan garap secara musikal maupun
bentuk sajiannya. Sangat disayangkan ketika perubahan garap yang terjadi pada
sajian gending-gending tradisi Banyumasan dalam pertunjukan lengger mengarah
pada bentuk pertunjukan yang bersifat dangkal dan Verbal. Hal ini sudah tidak
bisa dipungkiri lagi semenjak awal tahun 1990-an, terlihat bahwa pertunjukan
lengger tidak lagi didominasi oleh sajian gending-gending tradisi Banyumasan
dengan gamelan Calung, melainkan lebih mengedepankan sajian lagu-lagu “pop”
(dangdut) yang bernuansa kekinian. Masuknya alat musik seperti gitar, seruling,
keybort, drum dan kendang dangdut ke dalam sajian lengger-calung yang telah
terjadi semenjak awal tahun 1990-an, adalah awal bergesrnya eksistensi musik
calung yang mengarah pada kemerosotan kualitas garap. Pernyataan ini adalah
fenomena riil yang dilihat penyusun saat melakukan observasi di empat kabupaten
yang ada di Karesidenan Bamyumas pada awal tahun 1990-an. Menurut Kasbi
(seniman/pimpinan lengger) desa Nusajati, Cilacap berendapat bahwa; sajian
lagu-lagu “pop” (musik campursari) adalah suatu sajian yang dirasakan sebagai
faktor mendangkalnya garap gamelan Calung, karena Calung sudah tidak lagi
dianggap sebagai medium ungkap yang cerdas, melainkan telah diperlakukan
sebagai barang mati seperti balung
( tulang). Dalam kenyataannya
calung hanya memberi isian bunyi yang sebenarnya tidak berarti apa-apa. Dalam
sajian lagu-lagu campusari Calung hanya difungsikan sebagai instrumen balungan, karena garap
yang disajikan hanya berupa tekhnik-tekhnik mbalung (Wawancara: 29 Desember 2000).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar